18.2.13

Keping Sedjarah Soerabaja

"JMP". Tiga huruf ini jamak ditemui di muka angkutan kota Surabaya. Sebagai tanda. Lebih kurang begini maksud sopir-sopir itu: saya wira-wiri melewati Jembatan Merah Plaza (JMP). JM –tanpa P, adalah situs sejarah. Kebanyakan orang mengenal Jembatan Merah sebagai area tempat tewas Mallaby, seorang Jenderal Inggris. Bung Tomo yang kala itu aktif memimpin perjuangan, menyebut momen ini dengan a new turn to the situation in Java.

"History is the witness of the times, the torch of truth, the life of memory, the teacher of life, the messenger of antiquity", ujar Cicero.

Ucapan Cicero di atas menjadi pembuka buku Surabaya Di Akhir Tahun 1945. Diterbitkan Bina Pustaka Tama, buku tersebut berisi kumpulan karangan ihwal perjuangan bangsa Indonesia di Surabaya pada akhir tahun 45 (hal. iii).

Moestadji menyajikannya secara runtut. Runut. Sebagai kronik sejarah, di sinilah kekuatannya. Pembaca dapat mengetahui rekaman demi rekaman peristiwa penting Kota Pahlawan pasca kemerdekaan. Mulai peralihan kekuasaan dari tangan Jepang, insiden perobekan bendera Belanda di Hotel Yamato (kini hotel Majapahit) sampai perlawanan terhadap tentara Sekutu, Inggris.

Ada tiga fase penting yang dikaji.

Fase pertama dimulai semenjak tersiar kabar Proklamasi, pengibaran bendera merah putih, dan pembentukan alat kekuasaan Republik Indonesia di Surabaya. Dipelopori Moestopo, Soegiri, Doel Arnowo, Soedirman, dan Surjo, fase kedua diawali dengan perlucutan senjata dari militer Jepang. Fase ketiga ditandai dengan perlawanan rakyat Surabaya terhadap militer Sekutu dalam pertempuran tiga hari: 28, 29, dan 30 Oktober 1945. Lalu, disusul pertempuran 10 Nopember (hal. 2-3).

Perjuangan rakyat Surabaya penting untuk digelorakan. Dalam usaha mempertahankan kemerdekaan, terkandung nilai-nilai patriotisme, persatuan, semangat gotong royong, berjuang tanpa pamrih, rela berkorban, berani membela kebenaran dan kedaulatan bangsa dan negara. Nilai-nilai ini diharapkan terus lestari supaya generasi penerus dapat mengenal, menghayati, dan menerapkannya sesuai kebutuhan zaman (hal. iii).

Tak Cermat

Tipis, bersampul lukisan Bung Tomo berlatar belakang merah darah. Sepintas tak istimewa, seperti umumnya buku ajar. Bahkan, cenderung kehilangan "ruh" buat sebuah buku sejarah. Itu tak lepas dari pemilihan lukisan foto sebagai desain sampul. Agaknya, pribadi Bung Tomo nampak lebih "gagah" dan berwibawa ketika berada dalam potret foto asli.

Saya tak paham, kenapa cukup banyak terjadi kesalahan redaksi. Juga, mengandung inkonsistensi di sana sini. Apakah penggarapan buku tak teliti? Saya enggan berspekulasi.

Pertama, pada daftar isi tertulis "Terbunuhnya Jendral Mally" (hal. vi). Yang benar "Terbunuhnya Jenderal Mallaby", sesuai dengan sub judul pada halaman 38. Bukan "Ratu Belanda Wihelmina" (hal. 8), tapi "Ratu Belanda Wilhelmina".

Kedua, pemakaian huruf kapital. Terkadang, dijumpai "DONALD" dan GORDON SMITH (hal. 26). Tapi, pada kalimat berikutnya berubah jadi "Donald" dan "Gordon Smith" (hal. 26). Bahkan, pada saat tertentu, huruf balok itu masih harus dicetak tebal. Mungkinkah cerminan penegasan? Entah. Namun jika benar begitu, perihal demikian patut dikoreksi.

Ketiga, soal ejaan. Suatu waktu, penulis menggunakan "Soekarno" (hal. 2). Berikut, berubah menjadi "Sukarno" (hal. 58). Ada kala, memakai "Sudirman" (hal. 14), lain kali: "Soedirman" (hal. 14). Sekadar pengumuman kecil, Soedirman disini bukanlah Jenderal Soedirman atau Pak Dirman. Tapi, Soerdirman yang lain, yaitu tokoh pergerakan nasional di bawah pimpinan Soetomo. Satu nama, sosok yang berbeda. Pembaca pemula perlu waspada.

Keempat, terkait foto. Terdapat foto Ruslan Abdulgani (hal. 38). Padahal, halaman terdekat tak pernah sekalipun mengulas sosok Abdulgani. Hal serupa terjadi pada foto Ktut Tantri. Dia seorang Amerika kelahiran Inggris yang ikut mengobarkan perlawanan lewat siaran radio revolusioner (hal. 36). Sebuah gambar, pada akhirnya, tak lagi ilustratif.

Di sisi lain, sungguh etis jika penulis mempublikasikan sumber dokumentasi sejarah yang dipakai. Selain itu penulis tak menerangkan secara konsisten sumber karangan. Misalnya, pada bab Babak Kedua. Diceritakan tentang rapat-rapat raksasa mendukung Proklamasi, kronologi perobekan bendera Belanda, hingga perlucutan senjata militer Jepang (hal. 12). Tak ada informasi rujukan. Sedang di halaman lain, bisa ditemui penjelasan bahan kepustakaan yang digunakan: Documenta Historica karya Osman Saliby (hal. 57).

Menyoal validitas data, lebih bijak jika pembaca coba menelusuri tiap sumber referensi. Saya sendiri, dengan agak susah payah berusaha mencari. Tapi sampai resensi ini ditulis tak ada hasil. Nihil. Meski demikian, tercatat ada beberapa hal yang patut dilengkapi, bahkan jika perlu diuji lagi kebenarannya.

Kesatu. Digambarkan, setelah terjadi "insiden bendera", ada rencana untuk menyerbu dan mengambilalih senjata dari tangan Jepang (hal. 19). Berikut kutipannya:

Maka, direncanakan perebutan kekuasaan dari tangan Balatentara Dai Nippon oleh penguasa Republik di Surabaya. Pertama, tangsi Don Bosco diserbu dan penyerahan dilakukan. Kemudian, diselesaikan pengoperan kekuasaan serta pengoperan alat-alat dari Pusat Organisasi Bermotor Balatentara Dai Nippon di Jawa Timur. Radio Surabaya, Rumah Sakit Angkatan Perang di Karang Menjangan dan lain-lain diambil alih oleh Pemerintah Republik Indonesia. Hanya Kenpetai yang masih merasa punya kekuasaan. Mereka tak mau menyerah. Mereka dihantui oleh kekejaman-kekejaman yang pernah mereka lakukan terhadap rakyat Indonesia (hal. 19).
Semua kesatuan tentara Jepang menyerah. Semua senjata diserahkan termasuk kapal-kapal Jepang yang ada di pelabuhan Tanjung Perak (hal. 22).

Affair Huyer tak disinggung, yaitu penyerahan senjata Jepang secara besar-besaran di Surabaya akibat kekeliruan Kapitein-ter-zee Belanda Huyer. Pemimpin militer Sekutu di Jawa, Christison, Panglima Sekutu di Asia Tenggara, Mounbatten, menyalahkan Huyer sebagai orang yang bertanggung jawab. Markas besar Tentara ke-16 pun mengamini. Waktu itu, Huyer dalam sebuah upacara di Surabaya menerima kapitulasi komandan angkatan laut, Yaichiro Shibata, dan komandan angkatan darat, Iwabe. Huyer, dengan demikian, mengoper tanggung jawab keamanan dan ketertiban di Jawa Timur. Padahal, Huyer tak punya pasukan. Pada penyerahan resmi itu pula, berlaku penyerahan senjata. Dititipkan pada KNI (Komite Nasional Indonesia) –selanjutnya, KNI meneruskan senjata itu kepada para pemuda.

Sedang menurut Huyer, penyerahan senjata itu akibat perubahan sikap Iwabe. Iwabe melakukannya atas perintah telepon dari markas Jepang di Jakarta. Perintah itu berkaitan dengan pernyataan Christison: menyerahkan tanggung jawab keamanan dan ketertiban di daerah yang dikuasai Republik Indonesia kepada Pemerintah RI.

Versi lain menyebut kalau Huyer hanya dijadikan kambing hitam oleh Inggris. Tak lain untuk menutupi kegagalan akibat pernyataan Christison di Singapura yang mengakui kemerdekaan Indonesia de facto.

Kedua. Disebutkan pengambilalihan senjata Jepang diikuti oleh rakyat Jawa Timur (hal. 22). Ini cuplikannya:

Keadaan Surabaya untuk sementara menjadi aman. Tindakan arek-arek Surabaya ini diikuti oleh saudara-saudara di seluruh pelosok Jawa Timur (hal. 22).

Menurut Dr. J.J.P. de Jong dalam bukunya Diplomatic of strijd-Het Nederlands beleid tegenover de Indonesiche revoutie 1945-1947, fakta tak berkata begitu. Misalnya, di Madiun, Jepang menimbulkan kesan terpaksa untuk menyerahkan senjata. Di bawah tekanan rakyat Indonesia. Terjadi serangan pura-pura. Sandiwara semata.

Ketiga. 16 September 1945, Patterson yang merupakan wakil South-East Asia Command (SEAC) di Singapura, mendarat di Tanjung Priok menggunakan kapal Chamberland (hal. 23). Informasi ini tak lengkap. Sebab, masih ada satu kapal lain, yaitu kapal Tromp.

Sejarah Tak Hidup di Dunia Sinetron

Sebagai penyampai pesan, Surabaya Di Akhir Tahun 1945 agak provokatif. Sebagai contoh, penggunaan diksi tertentu; berkeliaran, galak, untuk menggambarkan karakter tentara Jepang (hal. 4). Atau, ambil saja ini:

Residen Sudirman langsung masuk ke ruang resepsionis. Orang-orang Belanda menyambut Residen Soedirman dengan sikap sombong. Mereka tidak menghargai Residen Soedirman sebagai seorang pembesar Republik Indonesia di Surabaya (hal. 14).

Pada halaman lain diceritakan:

Mereka yang berkekuatan 6000 tentara hampir-hampir saja musnah seandainya mereka tidak minta bantuan Bung Karno dan Hatta di Jakarta. Untuk minta bantuan pada para pemimpin di Surabaya sudah sulit dipercaya, akibat perbuatan licik mereka melanggar perjanjian yang mereka setujui. Mereka betul-betul dilanda kebingungan untuk mengendalikan kemarahan banteng ketaton di Surabaya (hal. 33).

Saya kira, sejarah tak hidup di dunia sinetron. Dimana tokoh protagonis adalah lakon malaikat; serba baik dan benar, tampan, cantik, sopan, kaya, sempurna! Sebaliknya, tokoh antagonis berbeda 180 derajat; kejam, buruk, ambisius, dan setumpuk kepribadian jelek lain.

Sederhana. Teks sejarah semestinya mengungkapkan fakta tanpa bumbu-bumbu yang (bisa jadi) kontraproduktif dengan nilai patriotisme –menjadi chauvinisme buta. Tentu saja ini tak mendewasakan. Apalagi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan wilayah Jawa Timur merekomendasikan buku ini sebagai bahan ajar tingkat SMP dan SMA.

Baiklah, mari kita beranjak ke perkara lain.

Moestadji melengkapi karyanya dengan foto-foto monumen sejarah di kota Surabaya. Ambil contoh Tugu Pahlawan, Monumen Bambu Runcing, Monumen Wira Surya, Monumen Pahlawan Mayangkara, dll. Tak ketinggalan, penjelasan yang berorientasi kekinian menjadi nilai tersendiri. Misalnya, terkait Monumen Bambu Runcing, penulis menjelaskan:

Di jalan Panglima Soedirman, kita jumpai Monumen Bambu Runcing. Suatu perlambang bahwa bambu runcing merupakan senjata mayoritas para pejuang kita di tahun 45 (hal. 97).

Lepas dari kekurangan, buku terbitan 1994 ini bisa menjadi panduan praktis, terutama untuk anak didik ditingkat sekolah menengah. Pembaca dapat menjadikannya sebagai koleksi pustaka sejarah.

Demikian. Sejarah "dicipta" dari goresan pena. Dan Moestadji menjadi salah satu pelakunya. Merdeka! []

_____
Informasi perihal buku ini dapat ditelusuri lewat Google Books

0 komentar :

Diam adalah mahaguru semenjak mula zaman
Diberdayakan oleh Blogger