18.1.12

Mengembalikan Peran Esensial Pustakawan yang Hilang

"Permisi, Bu. Saya ingin mempelajari topik tentang sejarah kesusastraan Indonesia, saya harus memulainya darimana, Bu?", tanya seorang mahasiswa dengan penuh rasa ingin tahu. "Sebelum ini, mbak sudah mencari bukunya dikatalog? Coba cek lagi mbak..", jawab seorang pustakawan dengan ramah.

Ya, barangkali ilustrasi diatas tak ada yang aneh atau janggal. Semua berjalan dengan baik. Tidak ada yang salah memang, baik mahasiswa -yang bertanya dengan sopan- maupun pustakawan atau petugas perpustakaan -yang setia melayani dan menjawab pertanyaan mahasiswa dengan hati terbuka-. Namun, jika dicermati lebih dalam, akan tampak bahwa ada hal esensial yang hilang. Apa itu? Hal esensial itu adalah peran pustakawan yang bergeser dan direduksi (hanya) menjadi seorang petugas penjaga ruangan dan administrasi perbukuan. Padahal, peran dan fungsi seorang pustakawan tidak sesederhana itu.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI Edisi III, 2001), pustakawan adalah orang yang bergerak dalam bidang perpustakaan. Bisa juga diartikan sebagai ahli perpustakaan. Jika merujuk pada definisi kedua, maka seorang pustakawan haruslah seorang yang benar-benar paham seluk-beluk dan isi sebuah perpustakaan. Lebih dari itu, seorang pustakawan adalah ujung tombak perpustakaan karena dari pustakawan-pustakawan inilah sumber pengetahuan berupa buku, majalah, jurnal, dan bahan kepustakaan lain dikumpulkan, dikategorisasi, diadministrasi, dan dijaga untuk kemudian disebarluaskan kepada pengunjung perpustakaan.

Dengan fakta bahwa job desc pustakawan sangat terkait erat dengan perbukuan, maka penguasaan terhadap materi dan isi koleksi bahan kepustakaan menjadi keniscayaan. Pada tataran praktis, pustakawan pada Psycho Corner misalnya, seyogyanya paham dan menguasai materi dan isi koleksi buku dan bahan kepustakaan tentang disiplin ilmu psikologi. Begitu juga pustakawan pada ruang Koleksi Khusus, seyogyanya paham dan menguasai materi dan isi bahan kepustakaan pada daerah kerjanya.

Dengan demikian, jika pada praktiknya buku yang dicari pengunjung tidak tersedia, maka pustakawan dapat mengarahkan pada "buku lain yang tepat" yang dapat dijadikan alternatif sumber referensi (hal yang tidak dapat dilakukan oleh teknologi atau software manapun karena cara kerja software yang hanya mengandalkan algoritma pemrograman). Mungkin, peribahasa tidak ada rotan, akarpun jadi dapat menggambarkan deskripsi diatas. Jika hal demikian dapat diwujudkan, seorang pustakawan pada akhirnya memegang peranan kunci dalam pemanfaatan dan pemberdayaan semua koleksi bahan kepustakaan (termasuk buku-buku lama yang selama ini jarang tersentuh) karena dari sinilah pengunjung mendapatkan "akar" sebagai pengganti "rotan" yang tidak didapatkannya di perpustakaan.

Akhirnya, ilustrasi yang mengawali tulisan inipun dapat dihindari.

Jangan Terjebak pada Teknologi

Teknologi pada dasarnya diciptakan untuk mempermudah pekerjaan manusia. Tanpa ada kesadaran bahwa teknologi adalah alat (tools), teknologi bisa jadi akan memperbudak manusia itu sendiri.

Perpustakaan Universitas Airlangga (penulis menggunakan Perpustakaan Unair Kampus B sebagai acuan) dari tahun ke tahun terus meningkatkan pelayanan dan fasilitasnya untuk "memanjakan" pengunjung. Mulai dari penambahan koleksi buku, pemutaran film (Cinemax), komputer gratis untuk pengetikan, akses internet gratis (Wifi Zone) yang buka hingga pukul 03.00 dini hari, renovasi ruangan, tanda cinta, dan pemanfaatan katalog online untuk mengecek ketersediaan bahan kepustakaan.

Sebuah usaha sekaligus pencapaian yang patut diapresiasi ditengah realitas rendahnya budaya baca, bahan kepustakaan yang terbatas, dan akses pada sumber informasi akademis yang tidak mudah, semisal akses jurnal ilmiah luar negeri.

Tanpa bermaksud mengecilkan usaha yang telah dilakukan, kiranya berpikir kritis tetap diperlukan untuk menjaga agar segala penyediaan fasilitas tersebut tidak menjadi sia-sia dan (justru) menggeser peran pustakawan dan perpustakaan dari peran dan fungsi dasarnya.

Sederhananya, teknologi semestinya ditempatkan sebagai pembantu tugas-tugas manusia (baca: pustakawan). Seorang pustakawan harus tetap menguasai materi dan isi bahan kepustakaan pada daerah kerjanya.

Solusi Jangka Pendek: Melibatkan Mahasiswa

Tidak mudah memang mendapatkan kondisi ideal perpustakaan seperti yang dideskripsikan sebelumnya -dengan pustakawan yang paham dan menguasai bahan kepustakaan- meskipun usaha menuju kesana tetap harus dilakukan jika sebuah perpustakaan ingin benar-benar menjadi pusat peradaban yang tangguh. Hemat penulis, hal demikian dapat dimasukkan dalam pembangunan jangka panjang perpustakaan karena penulis menyadari kondisi ideal tersebut diatas memerlukan waktu yang tidak singkat untuk diwujudkan.

Maka, penulis mencoba memberikan alternatif solusi jangka pendek -walapun harus dimengerti bahwa solusi ini memerlukan beberapa penyesuaian pada praktiknya kelak-, yaitu melibatkan mahasiswa untuk magang menjadi pustakawan.

Sebelumnya, perlu diketahui bahwa rendahnya budaya baca bangsa ini tidak berarti tidak ada lagi yang peduli atau memiliki minat baca yang tinggi. Tetap ada putra-putri ibu pertiwi yang dengan setia dan tekun menjadikan buku sebagai "teman hidup" mereka. Mereka bisa menghabiskan waktu berjam-jam setiap hari untuk meneguk tetesan pengetahuan dari buku yang mereka baca.

Lalu, mengapa manajemen perpustakaan Universitas Airlangga tidak memanfaatkan "generasi buku" (penulis menyebutnya demikian) ini? Hemat penulis, generasi buku ini relatif tidak kalah dengan pustakawan yang ada sekarang dalam hal penguasaan bahan kepustakaan meskipun dalam hal kemampuan pelayanan dan administrasi perbukuan masih perlu upgrading.

Dengan bekal yang mereka miliki sebelumnya -yaitu khazanah kepustakaan yang mereka dapatkan dari hobi membaca buku ditambah dengan usia mereka yang relatif muda sehingga masih menggeloranya "darah muda" dan semangat untuk belajar-, insentif yang cukup (tidak harus berupa uang), dan kewajiban menyediakan waktu sekian jam tiap harinya (terkait jam kerja ini, bisa disesuaikan dengan alur kerja perpustakaan sebelumnya) penulis optimis, solusi ini mampu memecah kebuntuan dalam peningkatan kualitas pustakawan selama ini.

Keuntungan lainnya jika memanfaatkan generasi buku untuk magang menjadi pustakawan adalah komunikasi yang lebih mudah dan mengalir dengan pengunjung karena usia mereka yang tak jauh berbeda. Bahkan, dimungkinkan pengunjung perpustakaan dapat menemukan sahabat berdiskusi yang baik dari mereka yang diberi kesempatan untuk magang.

Manajemen Perpustakaan Airlangga hanya perlu menemukan "generasi buku yang tepat" dan luwes karena pada praktiknya nanti mereka juga harus siap melayani pengunjung dengan tangan terbuka. Dan mencari mereka, bukan sesuatu yang sulit.

Semoga motto perpustakaan Universitas Airlangga, yaitu senyum, sapa, bantu tetap menjadi ruh dalam setiap aktivitas pelayanannya. Lebih dari itu, penulis berharap perpustakaan Unair dapat tetap menjaga peran dan fungsi dasarnya sebagai sumber pengetahuan. []

_____
Esai ini meraih peringkat kedua dalam lomba Ide Pengembangan Perpustakaan Universitas Airlangga, 2010. Beberapa hal memang hanya relevan untuk lingkungan perpustakaan Unair, namun secara umum masih dapat dijadikan pijakan untuk pengembangan perpustakaan lain.

0 komentar :

Diam adalah mahaguru semenjak mula zaman
Diberdayakan oleh Blogger