8.6.13

IPA atau IPS?

Dari mana IPA dan IPS datang? Kita mengenal Biologi sudah dari SD, tahu Sejarah semenjak bangku SMP. Tapi atas dasar apa kategorisasi itu dilakukan?

Persoalan ini sebenarnya terkait dengan klasifikasi disiplin ilmu. Para birokrat di lembaga pendidikan tentu punya dasar, tak cuma asal. Kita perlu meninjau aspek kesejarahan dari ilmu pengetahuan. Dari sana kita akan lebih tahu bagaimana kategorisasi ilmu hingga menjadi seperti sekarang. Kita bisa memulainya dengan mengaji filsafat: ibu segala ilmu.

IPA Versus IPS

Jejak-jejak perkembangan ilmu dapat kita telusuri dengan berpetualang ke alam filsafat, termasuk didalamnya ihwal klasifikasi ilmu pengetahuan.

Menurut Burhanuddin Salam dalam Pengantar Filsafat, ilmu pengetahuan dapat dibedakan atas dua asas, yaitu objek ilmu dan perspektif ilmu.

Berdasar asas objek ilmu, secara spesifik dapat diambil contoh ilmu sosiologi, kedokteran, psikologi, dan lain-lain. Secara umum, ilmu dibedakan menjadi ilmu alam (naturwissenschaften) dan ilmu manusia (geisteswissenschaften). Di masa sekarang, ilmu alam diwakili oleh IPA dan ilmu manusia direpresentasikan sebagai kelompok IPS.

Bagi Wilhelm Dilthey (1833-1911), seorang filsuf berkebangsaan Jerman, ilmu alam dan ilmu sosial menuntut pendekatan dan metode yang berbeda. Hal ini disebabkan keduanya memiliki objek kajian yang tak sama.

Jika demikian, bagaimana (pelajar) fisika bisa berkembang jika yang dipakai adalah nalar sosiologi? Demikian juga sebaliknya. Padahal kita tahu, paradigma berpikir tidak bisa dibangun secara instan, apalagi spontan. Maka, kategorisasi ilmu diperlukan sekaligus bisa dibenarkan walau kebijakan "pilih kasih" perguruan tinggi –dengan memperbolehkan siswa IPA masuk program studi IPS tapi tidak berlaku sebaliknya- patut dievaluasi.

Antara Bakat dan Minat

Mana yang lebih baik dipilih, IPA atau IPS? Atau mungkin Bahasa? Pertanyaan seperti ini akan mudah dijawab jika diutarakan pada level individu, bukan pada tingkat kelompok. Dengan begitu, kita tak mengabaikan bakat pada peserta didik. Para ilmuwan psikologi jamak bersepakat tentang faktor hereditas dan lingkungan yang saling mempengaruhi dalam membentuk individu.

Teori kecerdasan majemuk (multiple intelligences) menyatakan bahwa kecerdasan meliputi delapan kemampuan intelektual. Teori tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa kemampuan intelektual yang diukur melalui tes Intelegence Quotient (IQ) sangatlah terbatas karena tes IQ hanya menekankan pada kemampuan logika (matematika) dan bahasa (Gardner, 2003). Delapan kemampuan intelektual tersebut ialah musikal, interpersonal, intrapersonal, linguistik, matematis-logis, visual-spasial, kinestetik, dan naturalis.

Berkenaan dengan pemilihan jurusan, aspek kemampuan intelektual sebaiknya juga turut dijadikan pertimbangan. Pelajar dengan kemampuan matematis tinggi misalnya, lebih berpotensi dan mampu untuk menjadi saintis. Jika aspek visual-spasial paling menonjol ketimbang kemampuan lain, maka cita-cita untuk menjadi desainer atau arsitek patut untuk terus didukung.

Lebih dari itu, jika kemampuan intelektual, minat, dan kepribadian dapat diselaraskan, potensi peserta didik untuk berkembang akan jauh lebih besar. Pada akhirnya, jurusan apapun memang tak memberi garansi kesuksesan. Tapi memilih jurusan idaman yang disertai kemampuan memadai akan membuka peluang sukses kian lebar. Wallahu a’lam. []

0 komentar :

Diam adalah mahaguru semenjak mula zaman
Diberdayakan oleh Blogger