13.9.13

Kilas Balik G30S

Saya setuju dengan sejarawan Australia, Robert Cribb, bahwa kita tidak bisa menjamin seandainya komunisme berkuasa mereka tidak akan berbuat brutal, tetapi saya ingin menyatakan bahwa pembantaian terhadap 500.000 manusia pada tahun 1965 adalah tragedi kemanusiaan yang terbesar dalam sejarah Indonesia (Adam, 2010).

Dengan latar simbol palu arit yang terpampang di dinding rumahnya, tampak seseorang mengambil arit yang tergeletak di atas meja. Dua bilah arit diambil lagi entah oleh siapa, terselip di dinding yang terbuat dari anyaman bambu. Kemudian, ketika pagi menjelang, tepat ketika sebuah jamaah shalat Subuh selesai menunaikan ibadah, segerombolan orang tak dikenal memasuki masjid dengan membawa arit, menyerang jamaah, sang kiai dipukul serta Al-Quran dirobek.

Di atas adalah cuplikan Pengkhianatan G30S/PKI. Film yang wajib tonton di era pemerintahan Soeharto tersebut dianggap sebagian kalangan sebagai propaganda, memutarbalikkan fakta, dan usaha pembelokan sejarah terkait Gerakan 30 September (G30S).

Bicara ihwal G30S seakan tak berujung pangkal, terutama jika sudah menyinggung siapa dalang utamanya. Sebagian menuding Partai Komunis Indonesia (PKI), yang dengannya istilah G30S/PKI, dengan diikuti "/PKI" dibuat. Tapi, banyak sejarawan belum menerima jawaban tersebut atau jawaban lain sebagai penjelasan yang final. Hal ini lantaran begitu banyak aspek yang aneh, yang tak terjelaskan perihal G30S (Roosa, 2008).

Setidaknya, ada enam versi pelaku yang diduga berada di balik G30S. Pertama, pelakunya adalah PKI. Versi inilah yang dipegang rezim Soeharto hingga pemerintah saat ini. Kedua, G30S adalah persoalan internal Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD), timbul akibat ketidakpuasaan tentara terhadap pimpinan-pimpinannya. Ketiga, Soekarno sebagai dalang pemberontakan. Versi ini berangkat dari gerakan mahasiswa yang tak puas dengan langkah yang ditempuh pemegang Surat Perintah Sebelas Maret, yakni Soeharto karena tak menangkap Soekarno yang kala itu masih menjabat presiden. Versi keempat, Soeharto adalah otak G30S. Dugaan ini berangkat dari tanda tanya, mengapa Soeharto tidak ikut diculik bersama dengan jenderal yang lain? Ditambah adanya pertemuan antara Soeharto dengan A. Latief di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD). Kelima, versi yang menyatakan bahwa intelijen asing berperan dalam gerakan di penghujung September tersebut. Intelijen asing yang dimaksud antara lain Central Intelligence Agency (CIA), Inggris, dan China. Versi keenam menjelaskan, terdapat kombinasi dari beragam kepentingan dan pihak-pihak yang terlibat, baik itu PKI, Barat, maupun TNI AD (Sumarkidjo, 2000).

G30S telah menyisakan misteri tak terpecahkan bagi para sejarawan (Roosa, 2008). Malah, menurut Merle Ricklefs (dalam Roosa, 2008) dengan agak pesimis menuliskan bahwa "ruwetnya panggung politik" pada 1965 dan "banyaknya bukti-bukti yang mencurigakan" menyebabkan penyimpulan tegas mengenai G30S hampir tidak mungkin.

Meski terdapat beragam versi penjelasan G30S, rezim Orde Baru hanya menganggap satu versi sebagai kebenaran, sementara versi lain yang ditulis pengamat Barat hampir tak dikenal oleh masyarakat luas (Adam, 2004). PKI divonis bersalah karena dianggap mendalangi G30S.

Sejak saat itu, berkat Surat Perintah Sebelas Maret, Soeharto mulai mengambil tindakan untuk "menyapu bersih" anggota PKI dan simpatisannya lewat Keputusan Presiden No. 1/3/1966 pada 12 Maret 1966.

Konsekuensi Kepres tersebut, korban pembunuhan berjatuhan di mana-mana, meski angka persis jumlah korban simpang siur. Stanley Karnow dari Washington Post memperkirakan korban mati dibunuh sebanyak setengah juta orang. Seth King dari New York Times mengajukan angka perkiraan moderat, yaitu 300.000 korban jiwa, sementara Seymour Topping dari koran yang sama menyimpulkan bahwa jumlah korban meninggal bahkan hingga mencapai lebih dari setengah juta jiwa. Lebih tragis lagi, Robert Kennedy menuturkan, 100.000 lebih orang yang dituduh komunis bukanlah "pelaku", melainkan korban. Sementara sebagian korban lainnya menjadi tahanan politik dan mendekam di penjara, diasingkan selama puluhan tahun (Roosa, 2008). []

_____
- Penulis bukanlah sejarawan. Apa yang tertulis di atas masih terbuka untuk didiskusikan.
- Buku Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto karya John Roosa dapat diunduh lewat Google Books.

0 komentar :

Diam adalah mahaguru semenjak mula zaman
Diberdayakan oleh Blogger